SARJANA (TIDAK LAGI) MUDA

Pagi itu seperti biasa aku kembali melongok keluar mengintip melalui jendela kamar kosku yang kacanya buram -lantaran (memang) tidak pernah diperlakukan adil olehku seperti ku memperlakukan gelas kesayanganku- sembari menunggu air mendidih otomatis dari dispenser yang ku beli beberapa bulan yang lalu (ku tak ingat). Betapa ku tidak sayang sama mug ini, benda yang setia menemani mengarungi hari-hariku. Segera saja ku seduh caffeine yang selalu membuat ku candu dan tak bosan untuk menyeruputnya di setiap pagiku… sluuurrrpp… hhmm.. nikmat rasanya tiada dua. Bagi kebanyakan orang si cairan hitam hangat ini adalah sohib akrab sigaret yang selalu berasap, namun tidak bagiku. Memang, tujuh tahun lalu aku (sempat) berkenalan dengan si cerobong asap ini dan bersahabat kental dengannya. Tapi lain dulu lain sekarang, karena insiden batuk-batuk yang mendera pada saat itu, dan juga kesadaran untuk menggemukkan badan maka aku putuskan untuk berhenti berteman dengannya selama-lamanya (walaupun sampai detik ini badanku tak kunjung gemuk).

Menikmati segelas kopi hangat rasanya hampa tanpa membaca koran, ya apalagi ini hari sabtu, hari dimana aku biasa menyisihkan uangku untuk membeli surat kabar. Ku setel radio tape bututku dan mencari channel dengan sembarang, sampai akhirnya tak sengaja ku menyimak lagu “Sarjana Muda”nya Bang Iwan Fals. Lirik lagu yang ditembangkan Presidennya anak muda ini membuat ku terhenyak dan menerawang tak tentu arah…

“…

dengan langkah gontai tak terarah keringat bercampur debu jalanan

engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu

empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jaminan masa depan

engkau sarjana muda resah tak dapat kerja tak berguna ijazahmu

empat tahun lamanya bergelut dengan buku sia-sia semuanya

….”

Aku tiba-tiba saja berfikir bahwa lagu ini sengaja diputar hanya untukku. Tepat, tidak salah lagi. Liriknya sangat “dalam” menyayat sembilu, seakan mengetahui sebab pagi hariku yang seperti ini setiap harinya dan tak berubah, ibarat pasukan paskibra yang mendapat komando untuk berjalan ditempat dan haram berjalan kecuali setelah menerima aba-aba “maju jalan…”

Aku tak mau memungkirinya lagi bahwa memang alasan utamaku membeli koran sekali dalam seminggu di hari sabtu adalah semata-mata untuk membaca dan menandai kolom favoritku “Karier”. Ghalibnya semua orang dewasa mafhum betul bahwa kolom ini diperuntukkan kepada The Jobseekers, termasuk aku sang pengangguran.

Dulu, aku sempat membayangkan kehidupan yang menjanjikan di ibukota. Kendatipun banyak yang berpendapat bahwa ibukota lebih kejam daripada ibu tiri, aku tidak serta merta mengamininya begitu saja. Kini, aku baru merasakan luar biasa sulitnya mencari sesuap nasi di ibukota.

Pelbagai cara sudah aku lakukan, dari membaca setiap helai selebaran pengumuman loker (lowongan kerja) yang tersusun rapih di Information Board kampusku sampai langganan (gratis) di millist para Jobseeker yang secara berkala mengirimkan update loker langsung ke inbox e-mailku.

Rasanya sudah ratusan (jumlah tepatnya aku benar benar lupa karena terlalu seringnya) amplop cokelat berukuran kertas HVS yang sudah aku layangkan ke perusahaan-perusahaan di pelosok negeri. Dari ke semua amplop besar itu isinya sama; surat lamaran kerja, daftar riwayat hidup, foto kopi KTP, pas foto terbaru ukuran 3x4 (untuk yang ini sebenarnya yang penting menyertakan foto terbaik kita), kartu kuning pencari kerja, SKCK (surat keterangan catatan kepolisian), sertifikat-sertifikat penunjang lainnya (tiga dokumen yang terakhir ini hukumnya “sunnah”, lebih baik bila disertakan, itupun jika ada uang lebih untuk mengurus “birokrasi”nya yang berjelimet).

Tak terasa jam di telepon selulerku sudah menunjukan pukul 09.30. Ku masih saja membolak-balik kolom Karier tanpa mempedulikan isu politik hangat di Nusantara, apalagi gosip murahan para selebritas yang mencari popularitas untuk survive di belantika entertainment. Gelasku pun bocor alias tandas semua cairan hitamnya, hanya menyisakan ampas jauh di dasar dalam gelas.

Perut keronconganku nampaknya sudah tidak bisa dikompromi lagi. Hak perutku segera harus dipenuhi. Tanpa mandi (apalagi menggosok gigi) ku bergegas menunaikan hasratku ke Warteg terdekat.

Mbok Sumi yang sedari tadi sibuk melayani tamunya -para mahasiswa menengah ke bawah dan tukang becak- tidak absen melemparkan senyuman kepadaku –pelanggannya yang sering ngutang- seraya berkata “nyarap mas Indro?” ku langsung sigap membalas sambil menyimpulkan senyum kecil “nje mbok, menu biasa yah”. “Siap mas…” katanya lagi sambil guyon. Entah mengapa Si Mbok wong Tegal ini tidak pernah kapok melayani aku yang sering ngutang ini. Mungkin karena Si Mbok merasa bersaudara dengan aku yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah, atau karena dia paham betul bahwa “pembeli adalah raja”, maka aku selalu diperlakukan layaknya seorang raja (tanpa mahkota.. hehee) seperti halnya dia melayani tetamu yang lain. Aaahh, sudahlah aku malas berspekulasi, yang penting aku bisa sarapan pagi ini “Alhamdulillah…” kataku dalam hati.

Sambil menunggu Si Mbok menyendokkan nasi bak kuburan cina (begitu aku biasa menyebutnya karena porsi jumbo yang awet dan tahan lapar sampai sore hari) dan semur tahu tempe plus sambel khas Mbok Sumi kesukaannku yang super hot (yang takkan ditemui di restoran manapun di dunia), aku di kejutkan oleh sebuah tangan yang menepuk bahuku diiringi sapaan hangat dari suara yang kederangarannya tak asing di gendang telingaku “hei Ndro, sendirian aja lo..?” katanya setengah bertanya. Aku mencoba mengingat sebuah nama, ingatanku kembali ke masa OSPEK di Kampus 6 tahunan yang lalu. “Rony..!! lo bener Rony kan..?” kataku setengah ragu. “Iya, gue Rony Ndro, udah lama nggak ketemu yah?” balasnya dengan hangat. Sembari menerima porsi sarapan jumboku dari Si Mbok, aku memulai bercakap dengan Rony –kawan lamaku satu Fakultas di Kampus- “Iya Ron, 6 tahunan kita ga ketemu dan ngobrol kaya gini” ujarku dilanjutkan dengan basa basi menawarkan makan (yang sebetulnya tidak berniat untuk mentraktirnya).

Rupanya Rony sudah sarapan dan kali ini dia hanya ingin menikmati kopi hangat plus ngemil beberapa pisang goreng. Ngaler ngidul kita ngobrol tentang banyak hal, sampai akhirnya dia bertanya tentang kegiatanku saat ini. “Nganggur bro” ujarku sekenanya. “ada loker ga buat gue?” lanjutku. Aku tahu betul, selain pintar Rony juga beruntung karena telah bekerja di sebuah Bank swasta di bilangan Jakarta sebelah selatan. Aku tak seberuntung dia yang dapat mengaplikasikan ilmu Ekonominya di tempat yang tepat, sedangkan aku? ilmu Akuntansiku “lapuk” di makan usia. “di Bank tempat gue kerja sih kebetulan lagi ga ada loker bro, tapi…” “tapi apa?” potongku sebelum Rony menyelesaikan kalimatnya. “Abang gue kan Kepala Sekolah SMK swasta di sekitar sini, kayanya lagi butuh guru Akuntansi deh. Lo mau coba?” Aku berfikir keras dan berhenti sejenak mengunyah nasi. “Ngajar? Jadi guru maksud lo?” kataku penasaran. “Iya bro, ngajar di sekolah itu lumayan kok kesejahteraan gurunya, selain dapat gaji juga ada sembako setiap bulan. Bagaimana?” lanjutnya. “Insya Allah lo pasti bisa deh. Materinya gampang. Cocok buat lo yang Sarjana, kuliahnya 5 tahun lagi.. hehee.. just kidding bro” katanya sambil meledek. Rony memang lebih dulu lulus dan wisuda sebelum aku yang ngaret setahun sesudahnya. “mungkin harus gue coba bro.. mungkin ini jalan dan rezeki gue. Kapan gue bisa masukan lamarannya?” sahutku lagi. “Nah gitu dong.. profesi guru kan mulia bro, ilmu akuntansi lo pasti bermanfaat. Lebih cepat lebih baik bro. besok lo bisa langsung menghadap abang gue kan?” tanyanya setengah mendesak. “Insya Allah, besok pagi gue langsung menghadap beliau, SMK Karya Pelita yang di ujung jalan raya itu kan?” tebak aku (maklum saja 7 tahunan hidup disini memaksa aku menghapal wilayah). “iya betul bro, besok langsung menghadap sama Pak Abidin; itu nama abang gue oke..” ujarnya lagi sambil merogoh kantongnya dan berkata kepada Si Mbok “sudah Mbok, jadi berapa semuanya? satuin aja sama mas Indro”. “sebelas ribu rupiah saja mas” jawab si Mbok sambil tersenyum kearahku. Mungkin Si Mbok senang hatinya, karena kali ini aku tidak ngutang... Dan mungkin juga Rony iba sekaligus merasa kasihan kepada aku sang pengangguran yang tak kunjung mendapat penghasilan. “Makasih banget nih Ron…” kataku secara otomatis tanpa di perintah siapapun. “Sama sama bro..” jawabnya kalem seraya pamit pulang duluan kearah rumahnya yang jauh ke timur Jakarta. Belakangan aku tahu bahwa ternyata dari semalam dia menginap di kediaman abangnya yang tak jauh dari SMK.

Aku pulang ke kosan kali ini dengan suasana hati yang tidak murung seperti biasanya –murung mengingat hutangku sama Mbok Sumi yang menggunung sekaligus nestapaku sebagai pengangguran- namun ku justru senang setengah mati karena baru mendapat pekerjaan –yang walaupun tidak aku idamkan- yang 90% sudah di tangan. Semoga pekerjaan ini mewarnai kembali hidupku dan mengubah musibah menjadi anugerah.

Terimakasih Ya Allah… Akhirnya Kau dengar juga pinta hambamu ini... Akhirnya Kau bukakan juga pintu kasihMu kepada Sarjana pengangguran ini… Akhirnya Kau kabulkan juga setiap munajatku di malam buta menengadah untuk sebuah hidup yang lebih baik… Alhamdulillah Yaa Rob..

Bilik Inspirasi - Ciputat,

22 Januari 2010

Jam 17.20

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

0 komentar:

Posting Komentar